Maafkan Aku
Suamiku
Suamiku
Aku membencinya, itulah yang selalu kutanamkan dalam
hatiku hampir sepanjang hidupku bersamannya. Meskipun menikah, aku tak pernah
benar-benar bisa menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan
sikap benciku kepadanya. Setiap hari aku tetap melayaninya sebagaimana tugasku
sebagai seorang istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Sering muncul keinginan
dibenakku untuk meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untukku, putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga sangat memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku
selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Aku selalu merasa benar sehingga jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan suamiku.Aku paling benci asap rokok tercium
dalam setiap ruangan rumah, Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan
di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di
atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau dia
meletakkan sepatu di sembarang tempat.Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya
dengan rapi, aku juga benci ketika dia mengganti chanel tv yang sedang ku
tonton, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun
tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun
ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya.
Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku
terbesar padanya dan aku harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
anak perempuan kami.
Waktu berlalu hingga anak kami tak terasa berulang
tahun yang ke-lima. Seperti pagi-pagi biasanya, aku bangun tidur paling akhir.
Suami dan anak perempuanku sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Suamiku
lah yang selalu menyiapkan sarapan pagi dan mengantar anakku ke sekolah. Sebelum ke kantor,
biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anakku. Tetapi ketika itu, ia
juga memelukku sehingga anakku menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anakku.
Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk
pergi.Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke Butik langgananku.Menghabiskan
waktu ke Butik dan ke salon adalah hobiku.Mencari gaun serta baju- baju koleksi
terbaru, karena butik langgananku sudah bertaraf internasional. Aku selalu tak
mau ketinggalan tren baju- baju update terbaru. Di butik aku bertemu salah satu
temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik
termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar belanjaan,
namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak
bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin cha-cha meminta uang jajan dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau
tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan
marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai
bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku
akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku i. Aku menyebut nama
Butik langgananku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup
telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si pemilik Butik yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi
dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa
malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi
untuk berhutang..
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku
sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba.
Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak gunawan?”
kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke
rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima
kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana caranya aku bisa sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan isya terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan
itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anakku pun menangis dan
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku
benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang
telah ia berikan padaku selama hampir delapan tahun kami bersama. Kusentuh
perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku
menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat bahwa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah
absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah
bertanya atau memperhatikannya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin
terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anakku dan aku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan
atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah.
Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku
pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun.
Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun
dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan
sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi
yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek
dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di
dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap
kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap
bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan
karena aku baru menyadari bahwa dia begitu mencintaiku.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena
semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena
baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi
yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta
maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku, meminta
ampun karena menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada anakku yang harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja
atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami berdua. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku
datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anakku, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi
yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Sisilia tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang
lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi mu selamanya. Tetapi aku tak
mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung
sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah
setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik kita nanti. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama
ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat
kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk cha-cha, putri ayah
yang tercinta. Maafkan karena ayah tak
bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu mu. Oke, Buddy!
Aku terisak
membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur
khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.
Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha
tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.
Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya
lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam
hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini putriku
telah berusia dua puluh empat tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang
pemuda dari tanah seberang. Putriku bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya cha-cha kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana
ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan
belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar
bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku
menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah?
Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintaimu. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan padamu.”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintaimu. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan padamu.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan delapan tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
@.. thanks sang inspiration for
this history..@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar